Untuk diketahui Pengertian GSP menurut UU ini adalah, daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Garis batas ini adalah bagian dari usaha pengamanan pantai yang dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari bahaya gelombang pasang tinggi (rob), abrasi. Menjamin adanya fasilitas sosial dan fasilitas umum di sekitar pantai, menjaga pantai dari pencemaran, serta pendangkalan muara sungai. GSP juga berfungsi sebagai: pengatur iklim, sumber plasma nutfah, dan benteng wilayah daratan dari pengaruh negatif dinamika laut.
Sementara dari sisi legalitas urgensi sempadan pantai sudah tersedia dalam berbagai perangkat peraturan, yaitu: UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia. UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air. UU No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah. UU No. 28/2004 tentang Bangunan Gedung. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 38/2004 tentang Jalan. PP No. 51 Tahun 2016 Tentang Batas Sempadan Pantai, PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Kepres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan berbagai Keputusan Menteri Sektoral/Teknis lainnya. Serta Kab. Jepara No.2 Tahun 2011 Tentang RTRW Kab. Jepara Tahun 2011-2031
Dari uraian di atas, dan dikaitkan dengan masalah yang terjadi di wilayah pantai Karimunjawa, terdapat banyak hal yang perlu menjadi perhatian bersama, UU No. 1/2014 Pasal 17 disebutkan bahwa “Izin Lokasi diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemberian Izin Lokasi wajib mempertimbangkan kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil serta kepentingan masyarakat, nelayan tradisional. Izin Lokasi diberikan dalam luasan dan waktu tertentu. Izin Lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.”
