KKP Segel Pagar Laut di Tangerang, Nelayan Merasa Dirugikan

Polemik pagar laut sepanjang 30 km di pesisir Tangerang terus berlanjut. Nelayan mengklaim manfaatnya, sementara pemerintah menyebutnya melanggar aturan tata ruang laut.

SULUH.ID, Tangerang – Pesisir utara Tangerang kini menjadi sorotan tajam setelah munculnya pagar laut sepanjang 30 kilometer yang dibangun oleh masyarakat secara swadaya. 

Dikenal sebagai tanggul laut, struktur ini dibangun oleh Jaringan Rakyat Pantura (JRP) yang terdiri dari nelayan setempat. Mereka mengklaim bahwa pagar tersebut bertujuan sebagai pemecah ombak, pencegah abrasi, serta mitigasi terhadap potensi bencana tsunami dan gempa megathrust.

Namun, langkah ini mendapat penolakan keras dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menyatakan bahwa pagar laut tersebut tidak memiliki izin dan berpotensi merugikan ekosistem serta mengganggu aktivitas nelayan di sekitar wilayah tersebut.

Inisiatif Masyarakat.

Baca Juga  Bupati Terpilih Dico: Tanggapi Aspirasi Paguyuban Pedagang

Tarsin, perwakilan nelayan dari JRP, menjelaskan bahwa pembangunan tanggul laut merupakan bentuk upaya masyarakat untuk melindungi wilayah pesisir dari kerusakan. 

Menurutnya, selain berfungsi sebagai penghalang gelombang besar, tanggul ini dapat memberikan manfaat ekonomi berupa tambak ikan yang dapat dikelola secara berkelanjutan.

loading...

“Dengan adanya tanggul, masyarakat bisa memanfaatkan area di sekitarnya untuk tambak ikan. Ini akan membantu meningkatkan perekonomian nelayan.” ujar Tarsin. 

Ia menambahkan bahwa tanggul ini bisa menjadi solusi jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat pesisir.

Tanggapan KKP

Meski berniat baik, KKP menegaskan bahwa pembangunan pagar laut harus sesuai dengan aturan tata ruang laut yang berlaku.

Ipung Nugroho Saksono, Dirjen PSDKP, menyebutkan bahwa pagar laut ini berada di zona perikanan tangkap dan pengelolaan energi, yang seharusnya bebas dari penghalang fisik.

Baca Juga  Pepadi Akan Lapor Bareskrim Terkait Ceramah Musnahkan Wayang

“Kami menghentikan aktivitas ini karena tidak ada izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Kita harus melindungi kepentingan nelayan dan menjaga ekosistem pesisir dari potensi kerusakan,” kata Ipung.

Konflik Kepentingan 

Kasus ini memperlihatkan adanya konflik kepentingan antara perlindungan lingkungan dan kebutuhan ekonomi masyarakat. 

Di satu sisi, nelayan merasa inisiatif mereka membawa dampak positif, sedangkan pemerintah harus menegakkan aturan demi menjaga tata ruang laut dan keberlanjutan ekosistem.

Menurut pengamat kelautan Sumono Darwinto, pembangunan tanggul tanpa izin dapat merusak habitat laut. Ia menekankan pentingnya mengedepankan dialog antara masyarakat dan pemerintah agar solusi yang diambil tidak merugikan salah satu pihak.

Polemik ini menggarisbawahi pentingnya keterlibatan semua pihak dalam merumuskan kebijakan pesisir. Pembangunan swadaya bisa menjadi bentuk kemandirian masyarakat, tetapi tetap harus sesuai dengan regulasi yang ada demi mencegah dampak buruk jangka panjang terhadap lingkungan.

Baca Juga  Kepala DKK Abdul Hakam, Varian Delta Sudah Masuk Semarang

HEND/SLH

Mungkin Anda Menyukai