Analisis mendalam mengenai penurunan daya beli masyarakat Indonesia pada tahun 2025, faktor-faktor penyebab, dan langkah-langkah strategis untuk pemulihan ekonomi
SULUH.ID, Semarang – Kondisi perekonomian Indonesia pada awal tahun 2025 menunjukkan tanda-tanda penurunan daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah. Fenomena ini tercermin dari beberapa indikator ekonomi yang mengkhawatirkan.
Deflasi Beruntun dan Penurunan Penjualan
Salah satu indikator yang menonjol adalah terjadinya deflasi selama lima bulan berturut-turut pada periode Mei hingga September 2024.
Deflasi, yang ditandai dengan penurunan harga barang dan jasa secara umum, sering kali mencerminkan lemahnya permintaan domestik. Dalam konteks ini, deflasi dapat menjadi sinyal bahwa masyarakat menahan pengeluaran mereka, baik karena penurunan pendapatan maupun ketidakpastian ekonomi.
Selain itu, penurunan penjualan di berbagai sektor juga menjadi bukti nyata melemahnya daya beli. Misalnya, penjualan ritel mengalami penurunan signifikan, terutama pada produk-produk non-esensial seperti elektronik dan pakaian. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen lebih memilih untuk mengalokasikan dana mereka pada kebutuhan pokok dan menunda pembelian barang-barang sekunder.
Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi oleh Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI) turut menyoroti fenomena ini dengan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2025. Semula, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 4,8% hingga 5,6%. Namun, proyeksi tersebut direvisi menjadi 4,7% hingga 5,5%, dengan nilai tengah turun dari 5,2% menjadi 5,1%.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa revisi ini disebabkan oleh lemahnya konsumsi rumah tangga, khususnya di kalangan kelas menengah ke bawah, yang disebabkan oleh ekspektasi penghasilan yang belum kuat dan terbatasnya ketersediaan lapangan kerja.
Beban Finansial Tambahan pada Tahun 2025
Tahun 2025 diprediksi akan menjadi tahun yang menantang bagi masyarakat Indonesia terkait dengan beban finansial. Beberapa kebijakan yang akan diberlakukan antara lain penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan, serta potensi kenaikan tarif bahan bakar minyak (BBM) dan listrik.
Kebijakan-kebijakan ini diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran harian masyarakat dan menekan daya beli, terutama bagi kelas menengah.
Dampak pada Kelas Menengah dan Upaya Penanggulangan
Penurunan daya beli ini memiliki dampak signifikan pada kelas menengah Indonesia. Data menunjukkan bahwa proporsi kelas menengah menurun dari 21,5% pada tahun 2019 menjadi 17,1% pada tahun 2024.
Penurunan ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kehilangan pekerjaan dan berkurangnya peluang kerja pasca pandemi. Melemahnya kelas menengah menjadi tantangan bagi perekonomian Indonesia, mengingat kelompok ini berkontribusi besar terhadap konsumsi domestik.
Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah dan otoritas terkait perlu mengambil langkah-langkah strategis guna meningkatkan daya beli masyarakat. Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan antara lain:
Meningkatkan Lapangan Kerja: Mendorong investasi di sektor-sektor yang padat karya untuk menciptakan lebih banyak peluang kerja bagi masyarakat.
Program Bantuan Sosial: Memperluas cakupan dan efektivitas program bantuan sosial untuk membantu masyarakat yang terdampak secara ekonomi.
Pengendalian Inflasi: Menjaga stabilitas harga barang dan jasa, terutama kebutuhan pokok, agar tetap terjangkau oleh masyarakat.
Edukasi Keuangan: Meningkatkan literasi keuangan masyarakat agar mereka dapat mengelola keuangan dengan lebih bijak dan efisien.
Dengan implementasi kebijakan-kebijakan tersebut, diharapkan daya beli masyarakat Indonesia dapat pulih dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
HND/SLH