Kontroversi pagar laut di perairan Tangerang memicu tudingan keterlibatan Agung Sedayu Group. Di sisi lain, pengembang membantah dan menyebut proyek tersebut inisiatif warga. Simak ulasan lengkapnya di sini
SULUH.ID, Semarang – Kasus pemasangan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang, Banten, menjadi isu yang mencuat, memancing perhatian publik, pemerintah, dan organisasi lingkungan.
Proyek ini melibatkan tuduhan serius terhadap Agung Sedayu Group, salah satu pengembang properti terbesar di Indonesia. Di tengah polemik, muncul narasi yang beragam mengenai tujuan, pelaku, dan dampak dari pemasangan pagar tersebut. Isu ini juga menjadi cerminan konflik lebih luas antara pengembangan infrastruktur dan perlindungan hak masyarakat pesisir.
Kronologi Kasus Pagar Laut
Polemik ini mencuat setelah Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR PTR), Ahmad Khozinudin, menggelar orasi di depan Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 14 Januari 2025.
Dalam pidatonya, Ahmad menyebut nama-nama yang diduga terlibat, seperti Gozali alias Angcun sebagai pelaksana di lapangan, serta Alihana Vilijaya sebagai pihak yang memberi perintah.
Ahmad menuding proyek ini dilakukan demi kepentingan Agung Sedayu Group untuk mempersiapkan reklamasi guna pengembangan properti Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2).
Ahmad juga mengkritik KKP yang dianggap lamban menangani kasus ini. Ia menyoroti penyegelan pagar laut yang hanya menggunakan spanduk sebagai langkah yang tidak efektif.
Menurutnya, tindakan lebih konkret seperti pembongkaran dan pemberian sanksi terhadap pihak terkait harus dilakukan.
Tudingan Ahmad dan Dalil Pembelaan Agung Sedayu Group
Ahmad menyebut bahwa pagar laut tersebut menghalangi akses masyarakat lokal ke laut dan mengganggu ekosistem. Ia mengklaim bahwa masyarakat setempat merasa terintimidasi dan tidak berani melaporkan keberadaan pagar ini karena takut akan dampak hukum maupun tekanan dari pihak-pihak yang berkuasa.
Namun, pihak Agung Sedayu Group, melalui kuasa hukumnya Muannas Alaidid, membantah keras tuduhan tersebut. Menurut Muannas, pagar laut itu bukanlah proyek perusahaan, melainkan hasil inisiatif swadaya masyarakat untuk mengatasi abrasi, membangun tambak, dan melindungi wilayah pesisir dari sampah.
Ia menyebut tuduhan yang diarahkan kepada Agung Sedayu Group sebagai fitnah yang tidak berdasar.
Muannas juga menyoroti ironi dalam tuduhan ini. Ia menyatakan bahwa sejak tiga tahun lalu, perusahaan telah melaporkan keberadaan jutaan bambu penangkap kerang hijau yang mencemari laut Banten.
Namun, laporan tersebut tidak direspons pemerintah, sehingga menjadi bukti inkonsistensi dalam penanganan isu lingkungan.
Dampak Lingkungan dan Sosial
Ekosistem Laut yang Terancam
Pemasangan pagar laut dengan struktur bambu ini dianggap mengganggu ekosistem laut.
Menurut para ahli, reklamasi atau aktivitas yang menghalangi aliran air laut dapat merusak habitat biota laut, termasuk ikan dan kerang yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat pesisir.
Muannas menuding bahwa kerusakan lingkungan di kawasan ini justru diperparah oleh penangkapan kerang hijau menggunakan metode yang mengandung merkuri dan logam berat. Namun, klaim ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan validitasnya.
Dampak Sosial pada Masyarakat Lokal
Bagi masyarakat pesisir, keberadaan pagar laut menjadi dilema.
Ahmad mengklaim bahwa warga merasa hak mereka atas akses laut dirampas, namun mereka tidak memiliki daya untuk melawan karena takut akan intimidasi.
Sebaliknya, pihak pembela Agung Sedayu Group menyatakan bahwa pagar tersebut justru membantu masyarakat dengan mencegah abrasi dan memperluas area tambak.
Ketakutan warga untuk berbicara secara terbuka menunjukkan ketimpangan kekuasaan yang signifikan antara masyarakat lokal dan perusahaan besar. Jika tidak segera diatasi, masalah ini dapat memicu konflik yang lebih besar.
Reklamasi dan Kepentingan Bisnis
Dalam konteks lebih luas, pemasangan pagar laut ini dikaitkan dengan isu reklamasi yang sering menjadi sorotan.
Reklamasi kerap kali dilakukan untuk menciptakan lahan baru bagi pengembangan properti besar. PIK 2, yang merupakan bagian dari proyek strategis nasional, sering kali dituding mengorbankan lingkungan demi kepentingan bisnis.
Ahmad menduga bahwa pagar laut ini adalah langkah awal untuk mempersiapkan reklamasi.
Jika benar, maka hal ini tidak hanya melanggar hukum terkait pemanfaatan ruang laut, tetapi juga menjadi preseden buruk bagi proyek serupa di masa depan.
Respons Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum
Staf Khusus Menteri KKP, Doni Ismanto Darwin, menyatakan bahwa pihaknya masih menyelidiki dugaan pelanggaran izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Ia menekankan bahwa isu ini melibatkan banyak aspek, termasuk kemungkinan pidana lingkungan, yang memerlukan koordinasi dengan aparat penegak hukum.
Namun, hingga kini, langkah konkret dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini belum terlihat. Ahmad menyebut bahwa tindakan penyegelan menggunakan spanduk hanya simbolis dan tidak menyelesaikan masalah.
Ia mendesak KKP untuk bertindak lebih tegas, termasuk membongkar pagar laut tersebut dan memberikan sanksi kepada pihak yang bertanggung jawab.
Langkah Selanjutnya dan Harapan Masyarakat
Polemik ini membutuhkan penyelesaian yang adil dan transparan. Langkah-langkah berikut dapat diambil:
Penyelidikan Independen: Pemerintah perlu membentuk tim independen untuk menyelidiki kasus ini secara menyeluruh, termasuk mengumpulkan bukti dan mendengar semua pihak.
Penegakan Hukum: Jika ditemukan pelanggaran hukum, aparat harus bertindak tegas untuk memberikan sanksi kepada pihak yang bertanggung jawab.
Melibatkan Masyarakat Lokal: Keputusan terkait pengelolaan laut harus melibatkan masyarakat setempat agar hak-hak mereka dilindungi.
Pengawasan Proyek Reklamasi: Pemerintah harus memastikan bahwa semua proyek reklamasi mematuhi aturan hukum dan tidak merugikan lingkungan atau masyarakat.
Kasus pagar laut di Tangerang menjadi cerminan kompleksitas konflik antara pengembangan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan hak masyarakat pesisir. Dengan tuduhan serius terhadap Agung Sedayu Group, polemik ini memerlukan penyelesaian segera untuk mencegah ketegangan lebih lanjut. Pemerintah, masyarakat, dan perusahaan harus bekerja sama demi menemukan solusi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Hanya dengan pendekatan yang transparan dan inklusif, konflik seperti ini dapat diselesaikan tanpa merugikan salah satu pihak.
YUDIHEND/SLH