Pararaton, Antara Sejarah dan Sastra Nusantara

Kitab Pararaton sering diperdebatkan sebagai karya sastra atau sumber sejarah. Artikel ini menyajikan analisis mendalam tentang konteks, isi, dan pengaruhnya terhadap sejarah Nusantara.

SULUH.ID, Semarang – Kitab Pararaton, atau dikenal sebagai “Kitab Raja-Raja,” adalah salah satu karya kuno yang hingga kini menimbulkan perdebatan mendalam di kalangan sejarawan, arkeolog, dan filolog. 

Naskah ini, yang ditulis dalam bahasa Kawi, tidak hanya menyajikan kisah tentang pendiri Kerajaan Majapahit, tetapi juga memberikan narasi mitos, legenda, dan berbagai peristiwa yang dianggap memiliki nilai historis. 

Namun, apakah Pararaton dapat dianggap sebagai sumber sejarah yang kredibel, atau lebih cocok diposisikan sebagai karya sastra epik yang kaya simbolisme?

Asal Usul dan Struktur Kitab Pararaton

Pararaton diperkirakan ditulis pada abad ke-15, jauh setelah masa keemasan Kerajaan Majapahit. 

Baca Juga  Menggunakan Logika dengan Bijak, Kunci untuk Menghindari Kehancuran

Kitab ini terdiri dari 32 halaman naskah yang memuat berbagai kisah penting, seperti kelahiran Ken Arok—pendiri Singasari—hingga peristiwa-peristiwa yang mengiringi berdirinya Kerajaan Majapahit.

loading...

Naskah ini memiliki ciri khas berupa struktur cerita yang bercampur antara fakta historis dan elemen mitos. Misalnya, kelahiran Ken Arok dikaitkan dengan peristiwa supernatural, seperti restu dari dewa. 

Hal ini menimbulkan dilema: seberapa besar kebenaran sejarah dalam Pararaton, dan seberapa besar elemen sastra yang dimasukkan untuk memperkuat pesan moral atau keagamaan?

Sejarah atau Sastra? Sebuah Pendekatan Kritis

1. Sebagai Sumber Sejarah 

Pararaton memberikan informasi penting tentang dinasti-dinasti besar di Nusantara, terutama Singasari dan Majapahit. 

Beberapa bagian kitab dianggap valid secara historis, seperti kronik jatuhnya Singasari oleh serangan Kediri dan bangkitnya Raden Wijaya sebagai raja pertama Majapahit.

Baca Juga  Mengungkap Peluang Besar Data Analis, Profesi Emas di Era Digital

Namun, para sejarawan sering kali menilai Pararaton dengan hati-hati. Tidak seperti kitab Negarakertagama, yang dianggap lebih objektif dan mendetail dalam pencatatan sejarah, Pararaton dipenuhi narasi yang bercampur dengan mitos dan legenda. Misalnya, kisah Keris Mpu Gandring dalam pembunuhan Tunggul Ametung sering dianggap lebih sebagai cerita simbolik dibandingkan fakta sejarah.

2. Sebagai Karya Sastra 

Dilihat dari perspektif sastra, Pararaton adalah cerminan budaya Jawa yang kaya akan simbolisme dan narasi moral. Kisah-kisah dalam Pararaton sarat akan nilai-nilai spiritual, konflik kekuasaan, dan penggambaran perjuangan manusia melawan takdir. 

Elemen-elemen ini menunjukkan bahwa Pararaton lebih cocok dikategorikan sebagai karya sastra epik yang menggunakan latar sejarah untuk memperkuat daya tarik ceritanya.

Baca Juga  Ketakutan Menggerogoti Logika, Cara Mengatasi dan Melawan Ketakutan agar Tetap Rasional

Pendekatan sastra juga membuka ruang interpretasi baru tentang makna simbolik dari tokoh-tokoh seperti Ken Arok, yang sering dianggap sebagai representasi ambisi manusia yang penuh intrik.

Mungkin Anda Menyukai