Polemik sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (SHM) di pagar laut Tangerang terus bergulir. Apa dampaknya bagi lingkungan dan masyarakat?
SULUH.ID, Tangerang – Polemik mengenai keberadaan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang, Banten, memunculkan diskusi panjang tentang tata kelola ruang laut di Indonesia.
Kasus ini menjadi perhatian publik setelah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengakui bahwa pagar laut tersebut telah memiliki sertifikat resmi, baik berupa Hak Guna Bangunan (HGB) maupun Sertifikat Hak Milik (SHM).
Legalitas Sertifikat dan Perusahaan Terkait
Dalam konferensi pers di Jakarta, Nusron Wahid menyatakan bahwa 263 sertifikat telah diterbitkan atas nama sejumlah pihak, termasuk perusahaan dan individu. Sebanyak 234 sertifikat HGB dipegang oleh PT Intan Agung Makmur, 20 sertifikat atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, dan 9 bidang atas nama perseorangan. Selain itu, terdapat 17 sertifikat SHM.
Keberadaan sertifikat ini terverifikasi melalui aplikasi Bhumi milik ATR/BPN.
Namun, Nusron menegaskan bahwa pihaknya tidak memiliki informasi rinci tentang pemilik perusahaan tersebut. Ia menyarankan publik untuk mengecek data kepemilikan melalui Administrasi Hukum Umum (AHU).
Pembongkaran Pagar Laut oleh TNI AL dan Nelayan
Meski legalitas sertifikat diakui, keberadaan pagar laut telah memicu ketegangan dengan masyarakat pesisir, khususnya nelayan yang menggantungkan hidup pada akses laut.
Pada Sabtu, 18 Januari, sebanyak 600 personel TNI Angkatan Laut (AL) bersama nelayan memulai pembongkaran pagar laut yang terbuat dari bambu di perairan Tangerang.
Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Danlantamal) III Jakarta, Brigjen TNI (Mar) Harry Indarto, menjelaskan bahwa pembongkaran dilakukan secara bertahap, dimulai dari Tanjung Pasir hingga pesisir Pantai Kronjo.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut (Kadispenal), Laksamana Pertama I Made Wira Hady, menargetkan pembongkaran selesai dalam waktu 10 hari dengan jarak dua kilometer per hari.
Dampak Sosial dan Ekologis
Keberadaan pagar laut ini memunculkan berbagai pertanyaan tentang dampaknya terhadap lingkungan dan akses publik.
Nelayan mengeluhkan terganggunya jalur pencarian ikan, yang merupakan mata pencaharian utama mereka. Selain itu, pagar bambu yang menutupi wilayah pesisir juga dinilai mengganggu ekosistem laut dan menciptakan eksklusi sosial.
Kritik terhadap Regulasi dan Tata Kelola Ruang Laut
Kasus ini menyoroti celah dalam regulasi dan tata kelola ruang laut di Indonesia. Meski memiliki sertifikat resmi, keberadaan pagar laut dianggap melanggar prinsip keterbukaan akses laut yang diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Undang-undang ini menegaskan bahwa wilayah pesisir harus tetap menjadi ruang publik yang dapat diakses oleh masyarakat umum.
Beberapa pengamat menilai bahwa penerbitan sertifikat di area ini menunjukkan kurangnya koordinasi antara Kementerian ATR/BPN dan instansi terkait, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Langkah Lanjutan
Pembongkaran pagar laut oleh TNI AL menjadi langkah awal dalam upaya mengembalikan fungsi laut sebagai ruang publik. Namun, langkah ini harus diikuti oleh evaluasi mendalam terhadap proses penerbitan sertifikat di kawasan pesisir dan reformasi tata kelola ruang laut.
Keterlibatan semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat lokal, dan organisasi lingkungan, sangat penting untuk memastikan bahwa kasus serupa tidak terulang. Penerapan regulasi yang tegas dan transparansi dalam tata kelola agraria menjadi kunci untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan publik dan pengelolaan wilayah pesisir.
Kasus pagar laut di Tangerang menjadi cerminan kompleksitas pengelolaan ruang laut di Indonesia. Legalitas yang diakui pemerintah tidak serta-merta menghapus dampak sosial dan ekologis yang dirasakan masyarakat. Diperlukan langkah kolaboratif untuk menyelesaikan persoalan ini secara menyeluruh dan berkeadilan.
YHW/SLH