Pungutan iuran sebesar Rp 2,65 juta per orang tua siswa di SMA Negeri 2 Cileungsi memicu kontroversi. Orang tua memprotes kebijakan ini karena dirasa memberatkan.
SULUH.ID, Bogor – Kebijakan Komite Sekolah SMA Negeri 2 Cileungsi terkait pungutan iuran makan siang gratis guru menuai protes keras dari para orang tua siswa. Salah satu orang tua siswa, Marlon Sirait, mengungkapkan kekesalannya atas keputusan komite yang dianggap memberatkan, terutama bagi mereka yang berasal dari kalangan kurang mampu.
Latar Belakang Pungutan
Polemik ini mencuat setelah pihak komite menetapkan pungutan sebesar Rp 3 juta per orang tua siswa, yang kemudian diturunkan menjadi Rp 2,65 juta akibat gelombang protes.
Marlon menyebut, meskipun jumlahnya telah dikurangi, pungutan ini tetap dirasa memberatkan. Terlebih lagi, ia merasa kebijakan ini bertentangan dengan program makan siang bergizi gratis dari pemerintah.
“Pak Prabowo ingin memberikan makan siang gratis untuk anak-anak kami, tetapi kami malah diminta membayar makan siang untuk guru. Kami keberatan,” tegas Marlon kepada awak media pada Minggu, 12 Januari 2025.
Lebih lanjut, Marlon mengungkapkan bahwa pihak komite sempat mengancam tidak akan memberikan kartu ujian kepada siswa jika orang tua mereka tidak membayar iuran tersebut. “Ketua komite mengancam kami beberapa kali di grup WhatsApp. Ini sangat merugikan, terutama bagi kami yang kesulitan secara ekonomi,” tambahnya.
Penjelasan Ketua Komite
Menanggapi keluhan ini, Ketua Komite SMA Negeri 2 Cileungsi, Astar Lambaga, memberikan klarifikasi. Ia menjelaskan bahwa kebijakan penggalangan dana tersebut telah melalui prosedur resmi, sesuai dengan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 97 Tahun 2022 tentang komite sekolah.
Menurut Astar, rapat pembahasan iuran telah dilaksanakan pada 16 November 2024, dihadiri oleh sekitar 300 orang tua murid.
Awalnya, program ini membutuhkan anggaran sekitar Rp 1 miliar, yang rencananya digunakan untuk pemasangan 23 unit AC, makan siang gratis guru, serta pembayaran honor guru honorer dan tenaga administrasi sekolah.
“Anggaran BOS dan BOPD tidak mencukupi untuk kebutuhan tersebut, sehingga kami mengajukan penggalangan dana dari orang tua siswa,” jelas Astar.
Ia juga menegaskan bahwa program ini bertujuan meningkatkan kenyamanan belajar siswa serta prestasi akademik yang selama ini masih minim.
Respons Orang Tua dan Implikasi
Namun, tidak semua orang tua setuju dengan kebijakan ini. Sebagian besar dari mereka merasa dipaksa untuk ikut serta, meskipun kehadiran dalam rapat bersifat sukarela.
Mereka menilai pungutan ini tidak hanya memberatkan, tetapi juga menyalahi aturan moral karena mengalihkan beban kepada mereka di tengah kebijakan pemerintah yang mendukung pendidikan gratis dan inklusif.
Pakar pendidikan, Dr. Andri Setiawan, menilai kasus ini mencerminkan adanya celah dalam pengelolaan sekolah negeri.
“Jika pungutan semacam ini terus dilakukan tanpa transparansi yang jelas dan persetujuan mayoritas orang tua, dikhawatirkan akan memicu ketidakpercayaan terhadap lembaga pendidikan,” ujarnya.
Kebutuhan atau Beban?
Kasus pungutan iuran di SMA Negeri 2 Cileungsi mengundang pertanyaan besar mengenai batasan penggalangan dana oleh komite sekolah.
Di satu sisi, komite berargumen bahwa dana tambahan diperlukan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Namun, di sisi lain, orang tua merasa terbebani oleh pungutan yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka.
Pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor diharapkan segera turun tangan untuk menengahi polemik ini dan memastikan penggalangan dana dilakukan sesuai aturan yang berlaku, tanpa memberatkan pihak manapun.
HEND/SLH