Orang Solo Jarang Menekan Klakson Mobil Dibanding Jakarta.

Orang Solo Jarang Menekan Klakson Mobil?

Fenomena Budaya Berkendara yang Menarik untuk Ditelusuri

SULUH.ID, SEMARANG-Di Indonesia, setiap daerah memiliki budaya berkendara yang berbeda, mencerminkan karakter masyarakatnya. Salah satu fenomena menarik adalah kebiasaan orang Solo yang jarang menekan klakson saat mengemudi, berbeda dengan pengemudi di Jakarta yang sering membunyikan klakson, terutama dalam situasi macet atau terhalang. Apa yang melatarbelakangi perbedaan ini?

Solo, atau Surakarta, sering dikenal sebagai kota dengan nuansa budaya Jawa yang sangat kental. Masyarakat Solo menjunjung tinggi nilai-nilai unggah-ungguh (sopan santun), termasuk dalam perilaku di jalan raya. Prinsip “alon-alon asal kelakon” (pelan-pelan asal tercapai) seolah tercermin dalam cara mereka mengemudi. Penggunaan klakson yang berlebihan dianggap tidak sopan karena dapat mengganggu kenyamanan orang lain, baik pengemudi lain maupun pejalan kaki.

Jakarta, di sisi lain, adalah kota metropolitan dengan ritme kehidupan yang serba cepat. Kemacetan yang menjadi makanan sehari-hari memengaruhi emosi dan perilaku pengemudi. Klakson sering digunakan sebagai alat untuk menyalurkan frustrasi atau untuk mengingatkan pengemudi lain agar lebih cepat. Dalam konteks ini, klakson menjadi simbol desakan waktu dan ketegangan yang terjadi di jalanan Jakarta.

Baca Juga  Irwan Subiyanto Terpilih Ketua Indonesia Off Road Federation (IOF) Periode 2023-2027

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Berkendara di Solo diantaranya adalah : 

Masyarakat Solo dikenal menghargai harmoni sosial. Membunyikan klakson secara agresif dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai ini. Mereka cenderung lebih sabar dan menghormati pengendara lain, bahkan jika itu berarti harus menunggu lebih lama.

loading...

Kondisi lalu lintas di Solo relatif lebih teratur dan jarang mengalami kemacetan parah seperti di Jakarta. Jalanan yang tidak terlalu padat membuat kebutuhan untuk menggunakan klakson menjadi lebih rendah.

Kehidupan yang tidak terburu-buru serta ritme kehidupan di Solo lebih santai dibandingkan Jakarta. Orang Solo cenderung tidak terburu-buru dalam aktivitas sehari-hari, termasuk saat berkendara.

Pengemudi di Solo lebih sadar bahwa bunyi klakson yang keras dapat mengganggu ketenangan, terutama bagi warga sekitar atau pengguna jalan lain, seperti pengendara sepeda dan becak yang masih banyak ditemukan di sana.

Mengapa Pengemudi Jakarta Lebih Sering Membunyikan Klakson?

Kemacetan yang Ekstrem Jakarta adalah salah satu kota dengan tingkat kemacetan tertinggi di dunia. Klakson digunakan sebagai cara untuk mengekspresikan frustrasi atau mengingatkan pengemudi lain agar segera bergerak.

Baca Juga  Desain Mobil Listrik, Daruna Juara Satu PLN ICE 2021

Budaya Kompetitif Hidup di Jakarta sering kali melibatkan kompetisi, bahkan di jalan raya. Pengemudi cenderung tidak ingin “kalah” atau merasa dirugikan oleh pengguna jalan lain, sehingga klakson menjadi alat komunikasi untuk menegaskan kehadiran mereka.

Ketergantungan pada Waktu adalah hal yang sangat berharga di Jakarta. Setiap detik berarti, terutama bagi mereka yang harus mengejar jadwal kerja atau aktivitas lainnya. Klakson digunakan untuk meminimalkan penundaan, bahkan jika itu berarti membunyikannya berulang kali.

Perbedaan ini juga dapat dilihat dari sudut pandang psikologi dan sosiologi. Pengemudi Solo menunjukkan tingkat emotional intelligence (kecerdasan emosional) yang lebih tinggi dalam mengelola stres di jalan. Mereka cenderung menggunakan pendekatan komunikasi non-verbal yang lebih halus dibandingkan dengan klakson yang agresif.

Sebaliknya, pengemudi Jakarta menghadapi tekanan sosial yang lebih besar. Mereka harus berhadapan dengan ritme kehidupan yang menuntut efisiensi tinggi, sehingga klakson sering menjadi “pelampiasan” dari tekanan tersebut.

Fenomena ini bukan hanya soal perilaku berkendara, tetapi juga potret dari dua budaya yang berbeda. Solo adalah cerminan nilai-nilai tradisional yang mengutamakan ketenangan dan keharmonisan, sedangkan Jakarta mencerminkan dinamika modernitas yang penuh tekanan dan kecepatan.

Baca Juga  Optimisme Alex Marquez di MotoGP 2025: Peluang Juara Bersama Ducati GP24

Keduanya memiliki keunikan masing-masing. Namun, mungkin ada pelajaran yang bisa diambil dari budaya berkendara di Solo: kesabaran, empati, dan penghargaan terhadap orang lain di jalan raya.

CLST/SLH