SULUH.ID, SEMARANG – Tahun 2024 tercatat sebagai periode penuh gejolak di dunia bisnis global. Sejumlah perusahaan besar yang pernah berjaya kini menghadapi kebangkrutan di tengah tekanan makroekonomi yang tidak stabil. Pandemi yang sebelumnya mengguncang ekonomi global mungkin telah berlalu, tetapi dampaknya masih terasa hingga saat ini. Inflasi tinggi, kenaikan suku bunga, serta ketidakpastian geopolitik terus menekan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya mengurangi pendapatan banyak perusahaan.
Menurut laporan Challenger, Gray & Christmas, sebuah perusahaan jasa penempatan kerja, lebih dari 19 perusahaan telah memangkas sekitar 14.000 pekerjaan akibat kebangkrutan sepanjang tahun ini. Sektor ritel menjadi salah satu yang paling terdampak, dengan penutupan toko yang meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Lonjakan konsumsi selama pandemi, terutama pada 2021 dan 2022, menciptakan “euforia” di sektor ritel. Banyak konsumen berbondong-bondong membeli barang seperti perabot rumah tangga, elektronik, dan pakaian. Namun, kondisi tersebut tidak berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Menurut perusahaan riset CoreSight, hingga akhir November 2024, lebih dari 7.100 toko telah ditutup, meningkat 69% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Penutupan toko besar-besaran ini merupakan upaya perusahaan ritel untuk mengurangi beban operasional, seiring dengan melemahnya minat belanja masyarakat.
Meskipun demikian, tidak semua perusahaan yang mengajukan kebangkrutan benar-benar gulung tikar. Dalam banyak kasus, kebangkrutan digunakan sebagai strategi restrukturisasi, termasuk menutup beberapa cabang dan mengurangi biaya operasional guna bertahan di tengah krisis.
Salah satu kebangkrutan paling menonjol tahun ini adalah Tupperware, merek ikonik peralatan dapur yang dikenal luas dengan produk wadah penyimpanan plastiknya. Perusahaan ini telah menghadapi masalah keuangan selama bertahun-tahun akibat menurunnya popularitas produk dan perubahan gaya hidup konsumen.
Pada September 2024, Tupperware resmi mengajukan kebangkrutan setelah gagal keluar dari krisis keuangan yang melanda mereka sejak beberapa tahun terakhir.
Namun, kisah Tupperware belum berakhir. Pada akhir November 2024, sebuah firma ekuitas swasta membeli hak atas nama merek dan kekayaan intelektual Tupperware. Langkah ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan operasional perusahaan dengan harapan bisa mengembalikan kejayaannya di pasar global.
Gelombang kebangkrutan perusahaan besar tidak hanya berdampak pada penutupan toko dan hilangnya merek-merek ternama, tetapi juga pada lapangan pekerjaan. Pemangkasan sekitar 14.000 pekerjaan menjadi salah satu konsekuensi langsung yang dirasakan oleh ribuan karyawan di berbagai negara.
Secara makro, kebangkrutan ini turut memengaruhi rantai pasok global. Pemasok kecil yang selama ini bergantung pada perusahaan besar sebagai pembeli utama juga ikut terdampak. Di sisi lain, sektor perbankan menghadapi risiko kredit macet dari perusahaan-perusahaan yang mengalami gagal bayar.
Meskipun gelombang kebangkrutan meningkat, sebagian perusahaan mencoba bertahan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah melalui restrukturisasi utang dan efisiensi operasional, seperti menutup cabang yang tidak menguntungkan. Langkah ini bertujuan mengurangi beban biaya tanpa menghentikan seluruh aktivitas bisnis.
Selain itu, beberapa perusahaan berusaha mengubah model bisnis mereka dengan memperkuat penjualan digital dan merambah pasar baru yang masih potensial.
Namun, langkah ini memerlukan waktu dan strategi yang tepat untuk bisa membuahkan hasil di tengah tantangan ekonomi global.
Kisah kebangkrutan perusahaan di tahun 2024 menjadi gambaran nyata tentang betapa rentannya dunia bisnis terhadap gejolak ekonomi global. Ketidakpastian yang tinggi menuntut perusahaan untuk terus berinovasi dan menjaga fleksibilitas dalam menghadapi perubahan.
Bagi perusahaan yang berhasil bertahan, tantangan ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya manajemen risiko dan adaptasi terhadap perubahan pasar. Di sisi lain, bagi dunia usaha secara umum, fenomena ini mempertegas perlunya kerja sama antara sektor swasta dan pemerintah untuk menciptakan iklim bisnis yang lebih stabil dan kondusif di masa depan.
Dengan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, tahun-tahun mendatang akan menjadi ujian bagi banyak perusahaan lainnya. Apakah mereka mampu bertahan atau akan menjadi bagian dari daftar perusahaan yang mengalami kebangkrutan, hanya waktu yang akan menjawab.
YHW/SLH