Ekonomi Indonesia, Menggapai 8% atau Menghadapi Realitas yang Pahit?

SULUH.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Namun, sejumlah pakar menilai bahwa angka tersebut tidak realistis dan justru mencerminkan delusi ekonomi yang jauh dari realitas. Salah satu pandangan kritis ini disampaikan oleh Mukhaer Pakkanna, Senior Advisor di Center for Human & Economic Development (CHED) ITB Ahmad Dahlan Jakarta.

Dalam keterangannya, Mukhaer menyebutkan bahwa target tersebut lebih menyerupai “keyakinan palsu” yang tidak didukung oleh data dan fakta. 

“Indonesia harus fokus pada mandat konstitusi untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat, bukan sekadar mengejar angka pertumbuhan yang sulit dicapai,” ujarnya.

Menurut Mukhaer, sejumlah masalah struktural menjadi penghambat utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satunya adalah tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang mencapai hampir 7%, jauh di atas rata-rata negara ASEAN sebesar 3,5%. Tingginya ICOR menunjukkan inefisiensi investasi, rendahnya produktivitas, dan mahalnya biaya siluman dalam birokrasi ekonomi.

Baca Juga  Kisah Tupperware: Dari Ikon Peralatan Dapur ke Ambang Kebangkrutan

Selain itu, rendahnya kontribusi Total Factor Productivity (TFP) juga menjadi sorotan. Perekonomian Indonesia, menurut Mukhaer, masih bergantung pada sumber daya alam (SDA), belum beralih ke basis pengetahuan dan teknologi. Ketergantungan pada SDA ini berisiko menciptakan kutukan sumber daya alam (resource curse), yang dapat memperparah ketimpangan ekonomi dan kemiskinan.

Pandemi Covid-19 turut memperburuk kondisi ekonomi, terutama daya beli masyarakat. Mukhaer mencatat bahwa sejak 2020 hingga 2024, sebanyak 9,48 juta orang dari kelas menengah jatuh kembali ke kelompok miskin. Pergeseran ini juga diiringi oleh penurunan lapangan kerja formal dan peningkatan pekerjaan informal.

“Kelas menengah adalah penggerak konsumsi domestik yang menjadi penopang utama PDB. Jika mereka terus tertekan, dampaknya akan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi,” ungkap Mukhaer.

loading...

Mukhaer juga mengkritisi rencana pemerintah untuk memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% mulai Januari 2025, serta pengalihan subsidi BBM dan listrik. Kebijakan ini, menurutnya, hanya akan memperberat beban masyarakat, terutama kelompok menengah bawah, dan berpotensi meningkatkan angka pengangguran.

Baca Juga  Tanpa Pabrik HKT, Produk Apple Terbaru Berpotensi Tak Masuk Indonesia

“Beban biaya hidup yang makin berat akan menambah jumlah pengangguran dan memperburuk kondisi ekonomi,” tambahnya.

Sebagai solusi, Mukhaer menegaskan perlunya perombakan total struktur ekonomi, terutama dalam aspek kebijakan fiskal. Ia menyerukan afirmasi yang lebih besar terhadap kelas menengah bawah dan kelompok akar rumput, serta penghapusan delusi ekonomi yang tidak berdasar.

“Tanpa perombakan ini, mimpi tentang pertumbuhan 8% hanya akan menjadi angan-angan,” tutup Mukhaer.

Target pertumbuhan ekonomi 8% memang menggambarkan ambisi besar pemerintah, namun tantangan struktural dan kondisi ekonomi saat ini menunjukkan bahwa pencapaian tersebut memerlukan upaya yang jauh lebih serius. Fokus pada keadilan sosial dan peningkatan produktivitas menjadi kunci untuk membawa Indonesia menuju pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Baca Juga  Simpang Lima Farmers Market: Wadah Baru untuk Petani dan Penggemar Produk Lokal

YHW/SLH

Mungkin Anda Menyukai