SULUH.ID, SEMARANG-Dalam komunikasi sehari-hari, kata “goblok” kerap kali muncul dalam percakapan informal dan sering digunakan sebagai bentuk ekspresi kemarahan, kejengkelan, atau kritik terhadap seseorang.
Meski begitu, kata ini memiliki makna yang lebih dalam dan bisa memunculkan dampak sosial yang cukup besar, terutama apabila digunakan tidak tepat atau dalam konteks yang salah.
Secara etimologi, “goblok” berasal dari bahasa Indonesia yang dapat merujuk pada seseorang yang dianggap bodoh, tidak cerdas, atau tidak tahu apa-apa.
Namun, penggunaan kata ini sering kali bersifat lebih kasar dan bermuatan emosi. Kata tersebut dapat digunakan untuk merendahkan martabat atau menilai orang lain dengan cara yang sangat negatif.
“Goblok” tidak hanya mengacu pada ketidakpahaman intelektual semata, tetapi juga bisa bermakna penghinaan terhadap kualitas moral atau keputusan yang dianggap buruk oleh si pengguna kata tersebut.
Meskipun dalam beberapa konteks, kata ini bisa dianggap sebagai pelabelan sederhana, penggunaannya di kalangan masyarakat tidak jarang membawa konotasi yang lebih tajam.
Dalam percakapan santai di antara teman, “goblok” mungkin hanya dianggap lelucon ringan. Namun, ketika digunakan dalam konteks yang lebih serius, atau dalam interaksi yang lebih formal, kata ini bisa menimbulkan perasaan terluka, memperburuk hubungan, atau bahkan menciptakan ketegangan.
Penggunaan kata “goblok” yang tidak pada tempatnya bisa menyebabkan perpecahan dalam hubungan interpersonal.
Jika seseorang merasa dihina atau diremehkan, rasa sakit hati dan kemarahan yang muncul bisa berlanjut menjadi konflik.
Dalam kasus yang lebih ekstrem, ini bisa berujung pada perpecahan yang lebih besar, baik dalam konteks pertemanan, keluarga, atau lingkungan profesional.
Terlepas dari niat penggunaannya, kata “goblok” sering kali membawa stereotip atau label negatif. Orang yang disebut dengan kata ini, terutama dipublik atau di hadapan banyak orang, mungkin merasa dipermalukan atau dianggap kurang berharga.
Hal ini bisa mempengaruhi rasa percaya diri dan persepsi diri mereka, bahkan bisa menciptakan ketidaknyamanan di masyarakat.
Dalam konteks yang lebih formal, seperti di tempat kerja atau institusi pendidikan, penggunaan kata “goblok” dapat menjadi alat penghinaan yang digunakan oleh pihak yang memiliki posisi lebih tinggi terhadap bawahan atau orang yang dianggap lebih lemah.
Ini bisa menciptakan ketidaksetaraan dalam hubungan, merusak dinamika kerja, atau bahkan menciptakan lingkungan yang tidak sehat.
Dalam budaya digital atau media sosial, penggunaan kata-kata kasar seperti “goblok” sering kali disebarkan dalam debat atau percakapan online.
Ini tidak hanya meningkatkan ketegangan, tetapi juga menormalisasi perilaku berbahasa kasar di ruang publik. Dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak cara orang berkomunikasi dan mengurangi kualitas percakapan yang lebih bermartabat dan penuh penghargaan.
Bagi orang yang menjadi sasaran penghinaan ini, bisa timbul rasa tidak berharga, rendah diri, dan bahkan depresi.
Menggunakan kata “goblok” kepada seseorang dapat memperburuk kesehatan mental mereka, terutama jika kata itu datang dari seseorang yang penting bagi mereka atau dalam momen yang sangat sensitif.
Meskipun kata “goblok” dapat dianggap kasar dan bermasalah, dalam konteks yang benar dan dalam hubungan yang memiliki kedekatan emosional, kata ini terkadang digunakan untuk tujuan humor atau candaan. Misalnya, antara teman-teman yang saling mengenal dengan baik dan memiliki keakraban, kata ini bisa menjadi bentuk kelakar ringan tanpa menimbulkan perasaan tersinggung.
Namun, tetap saja, konteks ini sangat tergantung pada kedalaman hubungan dan pemahaman bersama tentang batasan yang tidak boleh dilanggar.
Dalam masyarakat yang lebih luas, kata “goblok” sebaiknya dihindari, terutama dalam interaksi formal atau ketika berbicara dengan orang yang tidak dikenal dekat.
Menghormati orang lain dan mengedepankan bahasa yang lebih santun bukan hanya mencerminkan sopan santun, tetapi juga menjaga agar percakapan tetap produktif dan menyenangkan.
Kata “goblok” memiliki konotasi yang beragam, dari yang ringan hingga yang sangat merendahkan.
Penggunaannya dalam situasi yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai konsekuensi negatif, baik dalam hubungan pribadi, profesional, maupun sosial. Oleh karena itu, penting untuk bijaksana dalam memilih kata-kata yang digunakan, serta mempertimbangkan konteks dan audiens yang ada.
Dalam dunia yang semakin terhubung ini, bahasa yang sopan dan penuh penghargaan tidak hanya meningkatkan kualitas interaksi, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih harmonis dan saling menghormati.
HENDRA/SLH