SULUH.ID, JAKARTA-Menjelang akhir tahun 2024, sektor perbankan nasional kembali menghadapi tantangan besar dengan penutupan sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Hingga awal Desember, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencabut izin usaha 16 BPR yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Langkah ini mencerminkan upaya regulator dalam menjaga stabilitas sektor keuangan kecil di tengah tantangan ekonomi dan kegagalan manajemen.
Mayoritas kasus penutupan BPR pada 2024 disebabkan oleh lemahnya kesehatan keuangan, kegagalan manajemen, dan tekanan ekonomi. Banyak bank tidak mampu mempertahankan rasio KPMM sesuai ketentuan, sementara penilaian Tingkat Kesehatan Bank (TKS) menunjukkan predikat “Tidak Sehat.”
Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK, Ahmad Mulya, menyatakan bahwa penutupan merupakan langkah terakhir setelah berbagai upaya pembinaan, pengawasan, dan resolusi gagal membuahkan hasil.
Penutupan BPR berdampak besar pada para nasabah, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menjadi segmen utama bank ini. Kendati dana nasabah dijamin oleh LPS, proses klaim sering memakan waktu, sehingga mengganggu kelancaran bisnis nasabah.
Selain itu, ekonomi lokal juga mengalami tekanan akibat hilangnya sumber pembiayaan. BPR sering kali menjadi penggerak utama dalam mendukung usaha kecil di daerah. Penutupan bank-bank ini menyebabkan stagnasi, bahkan kemunduran ekonomi di beberapa wilayah.
Kasus terakhir yang mencuat adalah pencabutan izin usaha PT BPR Duta Niaga di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Berdasarkan Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-98/D.03/2024 tanggal 5 Desember 2024, bank ini resmi dihentikan operasinya.
Proses menuju penutupan dimulai pada Januari 2024, saat BPR Duta Niaga ditetapkan sebagai Bank Dalam Penyehatan (BDP) karena rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (KPMM) di bawah 12% dan Cash Ratio (CR) yang kurang dari 5%.
Meski diberi waktu untuk melakukan perbaikan, bank ini gagal memenuhi target hingga statusnya meningkat menjadi Bank Dalam Resolusi pada November 2024. Akhirnya, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan, yang berujung pada pencabutan izin oleh OJK.
OJK menegaskan pentingnya penguatan tata kelola, likuiditas, dan permodalan dalam sektor BPR. Langkah strategis seperti konsolidasi melalui merger, pengawasan berbasis risiko, serta adopsi digitalisasi diharapkan dapat meningkatkan daya tahan industri ini.
Namun, pengamat keuangan menilai bahwa reformasi regulasi saja tidak cukup. Diperlukan langkah proaktif seperti edukasi keuangan bagi pelaku UMKM dan insentif bagi BPR yang berhasil menjaga stabilitas keuangan.
Berikut adalah daftar lengkap BPR yang dicabut izin usahanya sepanjang tahun ini:
PT BPR Duta Niaga – Pontianak, Kalimantan Barat
PT BPR Nature Primadana Capital – Bogor, Jawa Barat
PT BPR Sumber Artha Waru Agung – Sidoarjo, Jawa Timur
PT BPR Sembilan Mutiara – Pasaman Barat, Sumatera Barat
PT BPR Lubuk Raya Mandiri – Padang, Sumatera Barat
PT BPRS Saka Dana Mulia – Kudus, Jawa Tengah
PT BPR Bank Jepara Artha – Jepara, Jawa Tengah
PT BPR Dananta – Kudus, Jawa Tengah
PT BPRS Mojo Artho Kota Mojokerto – Mojokerto, Jawa Timur
PT BPR Bali Artha Anugrah – Denpasar, Bali
PT BPR EDCCASH – Tangerang, Banten
PT BPR Aceh Utara – Aceh Utara, Aceh
Koperasi BPR Wijaya Kusuma – Madiun, Jawa Timur
Perumda BPR Bank Purworejo – Purworejo, Jawa Tengah
PT BPR Madani Karya Mulia – Surakarta, Jawa Tengah
PT BPR Bank Pasar Bhakti – Sidoarjo, Jawa Timur
Penutupan 16 BPR sepanjang 2024 menjadi pengingat serius akan tantangan besar yang dihadapi sektor perbankan mikro di Indonesia. Tahun 2025 akan menjadi ujian bagi industri ini, apakah dapat bangkit dan beradaptasi, atau terus terpuruk di bawah tekanan ekonomi dan regulasi.
YHW/SLH