Ndolalak, Simfoni Tradisional dari Tanah Purworejo

SULUH.ID- Dulu di sebuah panggung sederhana di pelosok Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, suara kendang bertalu-talu memecah malam. Alunan musik gamelan bercampur dengan harmoni nyanyian dan lantunan syair Jawa menggema. Mulai dari anak-anak sampai orang tua menjadi saksi hidup tarian energik para penari perempuan berseragam khas dengan kacamata hitam dan gerakan ritmis yang menghentak, itulah kesenian ndolalak, warisan budaya yang tak lekang oleh waktu.

Nama ndolalak konon berasal dari bunyi “do-lalak-lalak” yang diambil dari nada lagu-lagu Belanda pada masa penjajahan. Kesenian ini mulai muncul pada awal abad ke-20, terinspirasi dari latihan militer tentara kolonial yang memperagakan gerakan baris-berbaris dengan irama lagu. 

Bermula di Desa Sejiwan, Kecamatan Loano, tarian ini dirintis oleh tiga pemuda, Rejotaruno, Duliyat, dan Ronodimejo. Mereka menciptakan gerakan dan irama yang terinspirasi dari lagu serta gerakan tentara kolonial Belanda saat berbaris atau berlatih militer. 

Dok. Ndolalak Campursari Sekar Putri Purworejo

Warga lokal yang menyaksikan kemudian memodifikasinya menjadi sebuah seni tarian khas yang mencerminkan kearifan lokal. Seiring waktu, unsur Islam dan budaya Jawa mulai menyatu dalam ndolalak, baik dari sisi busana, syair, maupun gerakannya.

Baca Juga  Mengapa Pedang Damaskus Yang Melegenda, Tidak Bisa Dibuat lagi?

Tari ndolalak menonjolkan gerakan dinamis, seperti hentakan kaki yang tegas dan lincah, serta ayunan tangan yang anggun. Gerakan ini sering dianggap sebagai refleksi semangat dan ketangguhan jiwa masyarakat Jawa. Para penari, yang didominasi perempuan muda, mengenakan kostum menyerupai seragam militer, lengkap dengan topi dan kacamata hitam, yang menjadi ciri khas ndolalak. Kacamata hitam ini bukan sekadar atribut, melainkan simbol ketegasan dan ketenangan.

Syair yang dilantunkan dalam ndolalak kerap berisi petuah hidup, cerita rakyat, atau sindiran sosial yang dikemas dengan humor. Syair ini biasanya menggunakan bahasa Jawa ngoko, yang membuatnya akrab dengan masyarakat pedesaan.

Musik ndolalak menggunakan alat-alat tradisional seperti kendang, gong, dan terompet bambu. Ritme kendang yang menghentak menjadi nyawa utama dalam tarian ini. Tak jarang, paduan suara dari penari atau pemusik ikut melengkapi suasana, menciptakan harmoni yang meriah.

loading...
Baca Juga  Sambut HKN, Yuk Ikuti Latihan Flashmob Di Pasar Malam Ambarawa

Selain hiburan, ndolalak juga memiliki dimensi spiritual. Sebelum pementasan, sering kali diadakan ritual tertentu untuk meminta keselamatan dan kelancaran. Beberapa kelompok ndolalak bahkan percaya bahwa penari dapat “kerasukan” roh leluhur saat menari, yang menjadi bagian dari daya tarik magis kesenian ini.

Di tengah arus modernisasi, ndolalak berjuang untuk tetap hidup. Generasi muda yang lebih akrab dengan budaya pop sering kali menganggap ndolalak kuno dan kurang relevan. Namun, berbagai upaya terus dilakukan oleh komunitas seni di Purworejo untuk melestarikan kesenian ini, seperti melalui festival budaya, pelatihan tari, hingga pementasan di tingkat nasional. Pemerintah daerah juga turut mendukung dengan menjadikan ndolalak sebagai ikon pariwisata budaya Purworejo.

Meski menghadapi tantangan, ndolalak masih menjadi sumber kebanggaan masyarakat Purworejo. Dalam gemuruh suara kendang dan hentakan kaki para penari, ada pesan tentang identitas, kebersamaan, dan cinta terhadap tradisi. Melalui kolaborasi lintas generasi, kesenian ini diharapkan dapat terus berdiri tegak sebagai simbol warisan budaya yang abadi.

Baca Juga  "Santet" Mitos atau Realitas? Perspektif Budaya, Ilmiah, dan Mistis

Ndolalak bukan sekadar seni pertunjukan, ia adalah cerminan jiwa dan semangat masyarakat yang tak pernah lupa pada akar budayanya, meskipun zaman terus berubah. 

Dari Purworejo, simfoni tradisional ini menyuarakan pesan, budaya lokal adalah jati diri yang harus selalu dirawat dan dijaga.

AGNLF/SLH