Sejarah dan Perkembangan Pedagang Kaki Lima: Fenomena Ekonomi Rakyat di Indonesia
Pedagang kaki lima (PKL) merupakan salah satu wajah khas kehidupan perkotaan di Indonesia. Meskipun sering dipandang sebelah mata, keberadaan PKL membawa dampak besar terhadap dinamika ekonomi, sosial, dan bahkan budaya masyarakat Indonesia.
Menurut berbagai sumber, nama “kaki lima” sebenarnya merujuk pada konsep “lima kaki” yang digunakan untuk menggambarkan jarak atau lokasi berjualan. Salah satu penjelasan yang paling banyak diterima mengungkapkan bahwa istilah “kaki lima” berasal dari jarak antara kaki bangunan atau toko dengan trotoar di depannya. Biasanya, di kawasan perkotaan pada zaman dulu, pemilik toko akan menggunakan area di depan tokonya (biasanya sekitar lima kaki dari bangunan utama) untuk menaruh barang-barang jualan mereka.
Jadi, “kaki lima” merujuk pada ruang atau lahan sepanjang sekitar lima kaki (sekitar 1,5 meter) yang ada di depan bangunan. Ruang ini digunakan untuk berjualan oleh orang-orang yang tidak memiliki tempat usaha formal atau toko, seperti pedagang kaki lima.
Dalam konteks ini, “kaki” mengacu pada bagian depan bangunan yang menjadi tempat jualan, dan “lima” merupakan perkiraan jarak yang digunakan sebagai patokan.
Seiring berkembangnya zaman, istilah “pedagang kaki lima” kemudian digunakan untuk menyebut pedagang yang berjualan di trotoar, pinggir jalan, atau tempat umum lainnya, terlepas dari apakah mereka benar-benar menggunakan lima kaki lahan atau tidak.
Pada akhirnya, istilah ini berkembang menjadi sebutan umum untuk pedagang informal yang berjualan di luar ruang komersial yang lebih formal.