Shuniyya : “GUS DUR” Perjuangkan Agama Konghuchu Demi Ke-Binekaan

SULUH.ID, KENDALIMLEK di Indonesia, tak bisa lepas dari peran seorang KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur.

Itulah yang diungkapkan Shuniyya Ruhama Habiballah, salah satu Murid Gus Dur sekaligus Aktivis Paguyuban GUSDURian Kendal, saat wawancara, ditemui dikediamannya desa Sambongsari-Kecamatan Weleri-Kendal Jawa Tengah, Sabtu (13/2/2021).

Mengenai Sosok Gus Dur menelusuri jejak digital, saat menjabat sebagai Presiden RI, Gus Dur menerbitkan Inpres Nomor 6.Tahun 2000 yang menganulir Inpres terbitan Soeharto. Sejak saat itu warga Tionghoa bebas kembali menjalankan kepercayaan dan budayanya.

Sehingga di tahun 2001, tirai kegelapan disingkap. Warga Tionghoa bisa kembali merayakan Imlek dengan suka cita.

Gusdur di mata Pengusaha BATIK lulusan sarjana Sosiologi UGM Yogyakarta, adalah tokoh yang sangat memperhatikan kebhinnekaan.

Baca Juga  Pemuda Tewas Tenggelam di Sungai Saat Mencari Kerang

“Beliau telah berhasil melampaui diri dan jamannya. Kita tinggal merawat dan menjaga selalu. Jangan sampai terkoyak oleh apapun juga,” ungkapnya.

Shuniyya mengungkapkan, banyak yang belum tahu, sebelum tahun 2001 warga Tionghoa tidak bisa merayakan Imlek secara terang-terangan.

loading...

“Hal ini terjadi karena Presiden Soeharto menerbitkan Inpres Nomor 14 tahun 1967 tentang larangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina,” terangnya.

Bahkan, lanjut Shuniyya, Liongsamsi, aksara Cina, dan segala bentuk hal terkait dengan Cina termasuk nama, kala itu dilarang atau dibatasi. Tidak bisa digunakan secara umum.

“Oleh banyak orang apa yang dilakukan Orde Baru disebut sebagai ethnic cleansing. Rezim berdalih bahwa kebijakan ini demi proses asimilasi yang kaffah,” jelasnya.

Baca Juga  Rahmad Handoyo: Jangan Termakan Hoaks, Baca Utuh UU Ciptaker

Di masa Orba, etnis Tionghoa tidak diakui sebagai suku bangsa. Etnis Tionghoa dipaksa untuk mengasimilasikan diri dengan suku mayoritas tempat bermukim.

“Misal saat di Bandung, ya mereka harus jadi orang Sunda,” tandas Shuniyya.

Meski di Era Reformasi 1998 membawa nafas baru. Yakni Presiden BJ. Habibie menerbitkan Inpres No. 26/1998 yang membatalkan aturan-aturan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa.

Namun, menurut Shuniyya, Gus Dur bertindak lebih jauh. Ia muncul membela hak komunitas Cina dengan konsep kebangsaan baru yang diperkenalkannya. Gus Dur menghilangkan dikotomi pribumi dan nonpribumi.

Baca Juga  Video Polisi Dangdutan Di Jatim Diperiksa Propam

“Waktu itu, Gus Dur pun menganggap bahwa orang Tionghoa sama dengan orang Jawa, Batak, Sunda, Minang, Dayak, Papua, Bugis, dan lain sebagainya,” imbuhnya.

Dan bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie 10 Maret 2004, Gus Dur disematkan sebagai Bapak Tionghoa.

Hal itu juga dibuktikan dengan, Foto Gus Dur bahkan dipasang di Klenteng Bun Bio, Surabaya, sebagai wujud penghormatan atas jasa-jasa Gus Dur.

“Dan di Imlek tahun ini, saya mengucapkan selamat Tahun Baru Imlek 2572/2021. Xin Xiang Shi Cheng, semoga keinginan kita menjadi kenyataan,” pungkas Shuniyya.

SIFAK/SLH

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *